Sabtu, 19 April 2014

Studi Modernisasi Baru



CHAPTER 4
Studi Modernisasi Baru

TANGGAPAN TERHADAP KRITIK
Pada akhir 1970-an, ketika kritik panas terhadap teori modernisasi telah mereda, ada kebangkitan terhadap penelitian modernisasi. Seperti teori modernisasi klasik, studi modernisasi baru fokus pada pengembangan Dunia Ketiga. Penelitian baru menggunakan istilah yang mirip dengan yang ditemukan dalam studi klasik, istilah seperti tradisi dan modernitas, dan mereka pada dasarnya berbagi asumsi yang sama bahwa modernisasi (dan kontak dengan negara Barat) umumnya bermanfaat bagi negara-negara Dunia Ketiga.
Hal ini merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi klasik antara lain sebagai berikut :
-     Gerak Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi teori evolusi.
-     Nilai tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai penghambat sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.
-     Metode kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud menjadikan kajian menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya.
-     Teori modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.
-     Teori modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur dominasi asing dan faktor ekternal.
Ada perbedaan yang mencolok antara kajian modernisasi klasik dengan kajian baru teori modernisasi. Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali dengan berbagai asumsi dasar teori modernisasi sebagai bentuk otokritik terhadap kajian teori modernisasi klasik. Bahkan berbagai asumsi yang kurang sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-segan dihilangkan seperti antara lain sebagai berikut :
1)      Hasil kajian baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling bertolak belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang disebut dengan nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan nilai Barat serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses modernisasi.
2)      Secara metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata. Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.
3)      Tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan menjadikan barat sebagai satu-satunya model Pembangunan.
4)      Lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan faktor konflik.
Berikut ini adalah perbandingan antara teori modernisasi klasik dan teori modernisasi baru :
Persamaan / Perbedaan
Teori Modernisasi Klasik
Teori Modernisasi Baru
Fokus kajian
Negara Dunia Ketiga
Sama
Tingkat Analisa
Nasional
Sama
Variabel Pokok
Faktor Internal : nilai-nilai budaya, pranata social
Sama
Konsep Pokok
Tradisional dan Modern
Sama
Implikasi Kebijaksanaan
Modernisasi memberikan manfaat positif
Sama
Tradisi
Sebagai penghalang Pembangunan
Faktor Positif Pembangunan
Metode Kajian
Abstrak dan konstruksi tipologi
Studi Kasus dan Analisa sejarah
Arah Pembangunan
Garis lurus dan menggunakan USA sebagai model
Berarah dan bermodel banyak
Faktor Ekstern dan Konflik
Tidak diperhatikan
Lebih diperhatikan

WONG : FAMILIISME DAN KEWIRASWASTAAN
Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :
1. Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain praktek manajemen ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut pendelegasian wewenang dan kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa pemberian atau penganugerahan penghargaan material lebih didasarkan pada prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang wajar Manajemen sering bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para bawahannya.
2. Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk bekerja lebih keras tetapi dengan upah yang lebih rendah, sehingga membantu Kuatnya posisi bersaing perusahaan keluarga ini. Jika anggota keluarga telah memegang posisi manajerial, usahawan etnis Cina akan dengan sangat teliti memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena itu tenaga manajer keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.
3. Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah menghasilkan satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka. Kalau terjadi perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih cenderung pada pembagian keuntungan disbanding perpecahan fisik hubungan keluarga. Perusahaan keluarga etnis Cina memiliki kemampuan bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan satu kepercayaan antar anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang ditemukan di antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain. Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan untuk saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih mudah melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah untuk membuat keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat berubah, mampu menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen tertulis.
Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang menghambat Pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1.      Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi.
2.      Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3.      Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.
DAVIS : REVISI KAJIAN AGAMA JEPANG DAN TEORI BARIKADE


Teori Lintas Gawang (A theory of hurdles)

          Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas  gawang, yakni teori yang menyatakan, bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang yang melintang sejak garis permulaan ( masyarakat tardisional ) sampai garis terakhir ( masyarakat modern ). Dalam lomba ini, peserta lomba ( negara berkembang ) yang berhasil mengatasi segala rintangan hendak diberi ganjaran berupa julukan sebagai masyarakat modern dan rasional.
          Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terdiri atas brbagai macam. Pertama, peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan rintangan ekonomis jika hendak mencapai karakteristik dasar kapitalisme. Kedua, peserta lomba juga diharapkan memapu mengatasi gawang rintangan sosial politik. Ketiga,  peserta lomba juga dihadapkan pada gawang rintangan psikologi.
Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai kesalahan berikut :
1)      Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan berkembangnya kapitalisme.
2)      Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses modernisasi dan civilisasi. Davis berpendapat bahwa jika masyarakat modern memiliki berbagai macam spirit yang berbeda, maka dalam masyarakat tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa setiap spiritnya perlu dan mengalami sekularisasi searah.
3)      Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik). Davis menyatakan bahwa jika etos memang memiliki peran sedemikian besar, lantas berapa besar bobot yang harus diberikan kepada peran pemerintah, sistem perbankan, perencanaan indusri dan pranata social lainnya. Loyalitas tidak dapat dan tidak mungkin untuk mewujudkan dalam ruang hampa, tetapi loyalitas akan selalu tersituasikan dalam berbagai jaringan insentif dan ganjaran social, serta dalam jaringan batasan dan kekerasan social.

Teori Barikade
          Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis teori lintas gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang tradisionalisme-bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade untuk melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu sendiri.







Davis melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.
o   Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan berprestasi dan universalitas)
o   Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral, hukum, filosofi, dan agama rakyat.
o   Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan hubungan kekuasaan.

Penulisan Kembali Sejarah Agama di Jepang
          Davis berpendapat, bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi adanya perubahan karena berbagai alasan berikut ini. Pertama, menurut ajaran Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang. Kedua, karena Shinto tidak memiliki perwalian gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengizinkan berlakuknya proses modernisasi. Ketiga, karena adanya kehidupan koeksistensi tiga agama, Konfusius, Budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan derajat toleransi antaragama sangat tinggi. Keempat, urbanisasi di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama, yang pada gilirannya menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan cendikiawan Konfusianisme. Kelima, bahwa agama-agama baru yang banyak muncul setelah Perang Dunia II, yang biasanya didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti oleh banyak pengikut, telah mampu menumguhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, Budha, Nasrani, dan Konfusius. Terakhir, dengan mengamati tumbuhnya kembali agama-agama rakyat, Davis menyatakan bahwa kegaiban dan keajaiban sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip “rasionalitas” pada masyarakat industri modern.
BANUAZIZI : REVOLUSI ISLAM DI IRAN
Sama seperti halnya Davis, Banuazizi mengkaji peran agama dalam pembangunan, Ia berpendapat untuk memberikan penghargaan yang lebih besar terhadap tradisi dalam masyarakat.
Kritik Banuazizi (1987) terhadap teori modern klasik:
1.      Teori modern klasik membangkitkan sebuah image ideal masyarakat  barat kontemporer;
2.      Teori modern klasik mendefinisikan tradisi sebagai sesuatu yang negatif;
3.      Teori modern klasik berargumen bahwa dunia ketiga harus menyingkirkan hambatan tradisional sebelum terwujudnya modernisasi.

Beberapa pemikiran Banuazizi terhadap sebuah “Tradisi”:
1.      Tradisi dapat sebagai reflektif, kreatif dan responsif terhadap kebutuhan individual dan kolektif sebagai mitra modernisasi;
2.      Tradisi memiliki potensi besar dalam mobilisasi sosial dan perubahan;
3.      Pada 1980-an terjadi kebangkitan gerakan tradisionalis dalam bentuk Islamic Resurgence tentang penolakan nilai-nilai barat atau gaya hidup barat dan ketaatan terhadap kode etik islam serta penegakan hukum suci.

Apa penyebab dari revolusi Iran?
Bagaimana revolusi Iran menarik untuk meningkatkan pemahaman kita tentang teori modernisasi baru?
Di media barat, gerakan kebangkitan islam barat digambarkan sebagai ekstrimis, anakronistik dan kemunduran. Gerakan ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya eskalasi konflik etnoreligius dan disintegrasi politik. Banuazizi berpendapat bahwa interpretasi barat tersebut menunjukan satu sisi kegagalan mereka dalam mengendalikan faktor struktural, budaya dan agama.

Kronologi Revolusi Islam di Iran: 
1.      Pada 1970-an Iran mengalami modernisasi yang luas seperti industrialisasi, urbanisasi, perluasan pendidikan dan pertumbuhan media masa. Modernisasi ini dibarengi dengan munculnya ketidaksetaraan struktural, sikap pemerintah yang tunduk pada negara maju, penghinaan terhadap budaya islam, terjadinya korupsi endemik rezim pemerintahan, sehingga menyebabkan kebencian penduduk Iran terhadap pemerintah.
2.      Modernisasi menghasilkan dua segmen budaya:
a.       Segmen kecil modern elit barat yang berpendidikan dan mempunyai sifat individualisme, kebebasan, dan demokrasi
b.      Segmen besar tradisional seperti kaum miskin perkotaan, pedagang kecil, dan pengrajin yang tetap berpegang teguh pada nilai, gaya hidup dan perilaku islam
3.      Kelompok syiah memiliki peran penting sebagai elit politik kultural dalam mendorong revolusi Iran, mereka memiliki hubungan ekonomi, sumber daya keuangan, dan karisma religius dalam mengkritisi rezim pemerintah. Mereka bisa memainkan peran seperti itu karena mereka telah lama aktif dalam gerakan oposisi selama abad yang lalu. Khomeini adalah sangat populer di kalangan berbagai kelompok oposisi, pengikut militan melakukan mobilisasi revolusioner yang terkoordinasi dengan baik, menggunakan komunikasi secara tradisional dan modern serta agitasi untuk mewujudkan tujuan mereka.
4.      Revolusi Iran adalah revolusi sosial berbasis massa, melibatkan koalisi kekuatan sosial dan ideologi politik baik ideologi islam maupun sekuler. Banuazizi menjelaskan ada 4 ideologi islam, yaitu:
  1. Islam Radikal, yaitu ideologi intelektual muda yang ingin mengubah Iran menjadi masyarakat tanpa kelas
  2. Islam Militan, yaitu ideologi ulama, kaum borjuis dan merupakan kelompok yang ingin mendirikan pemerintahan baru
  3. Islam Liberal, yaitu ideologi kelompok menengah yang ingin berbagi kekuasaan dengan pemerintah dengan cara non-kekerasan
  4. Islam Tradisional, yaitu kelompok yang menginginkan kembalinya orde lama

Banuazizi berpendapat bahwa cita-cita dan nilai-nilai islam bisa dibuat begitu elastis dimana akan sesuai dengan kepentingan dan kecenderungan dari kelompok tertentu. Selain itu, para pemimpin karismatik bertindak sebagai pendukung koalisi untuk membawa semua kelompok ini bersama-sama melakukan mobilisasi revolusioner.

Beberapa hal yang dapat dipelajari dari Revolusi Islam di Iran:
1.      Modernisasi tidak selalu membawa sekularisasi, dimana revolusi islam di Iran harus dilihat dalam kaitan terjadinya kesenjangan sosial, perbedaan budaya, dan tidak populernya rezim pemerintah dimata rakyat;
2.      Aktor  tradisionalis tidak terhambat oleh sifat tradisional, ideologi tradisional ini bermanfaat dalam mengartikulasikan tuntutan gerakan perubahan sosial kelompok sekuler modern. Hal ini berlaku untuk Syiah Islam, Ortodoks Yudaisme di Israel, Teologi pembebasan di Amerika latin, dan gereja katolik dalam gerakan buruh di Polandia;
3.      Gerakan tradisional keagamaan juga dapat menarik bagi mereka yang memiliki extensive exposure kepada lembaga modernisasi (seperti kelas menengah baru). Akhirnya, sejak tahun 1979, Banuazizi telah mengamati kemenangan elemen tradisionalis dan penghapusan virtual semua kelompok lain yang telah berpartisipasi dalam koalisi revolusioner. Mengingat hasil pengamatan ini, Banuazizi menegaskan bahwa dialog tentang tradisi dan modernitas harus dibuka kembali, kali ini dengan penekanan pada tradisi.

HUNTINGTON : AKANKAH NEGARA MENJADI LEBIH DEMOKRASI?
Huntington menyajikan kajian komprehensif dari berbagai faktor penting yang berkaitan dengan pengembangan demokrasi di negara-negara dunia ketiga. Pada tahun 1960, Lipset optimis terhadap hipotesis bahwa pembangunan ekonomi yang lebih baik akan menyebabkan demokrasi. Pada 1970-an, peneliti di sekolah modernisasi menjadi lebih pesimis terhadap prospek demokrasi di dunia ketiga . Pada 1980-an, prospek demokrasi tampaknya telah cerah kembali, dan hasil penelitian cenderung menunjukan adanya kemungkinan transisi ke demokrasi.
Dalam melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan “Akankah negara menjadi lebih demokratis?” Huntington membedakan dua faktor, yaitu:
1 . Prakondisi yang mendukung pembangunan demokrasi
2 . Proses politik dengan perkembangan demokrasi yang telah terjadi

Prasyarat Demokrasi menurut Huntington, yaitu:
1.      Faktor Kekayaan Ekonomi, Ada korelasi yang kuat antara kekayaan dan demokrasi, dimana tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih baik akan mampu menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi demokrasi seperti tingginya tingkat melek huruf, pendidikan dan paparan media massa.
Namun Huntington memunculkan pertanyaan apakah tingkat perkembangan ekonomi diperlukan untuk transisi menuju demokrasi, sementara berbagai negara telah menjadi negara demokratis pada tingkat pembangunan yang sangat beragam. Di sisi lain beberapa negara di Timur Asia dan Amerika Latin yang telah melakukan pembangunan ekonomi tetapi belum menjadi negara demokrasi.
Dalam mencoba untuk mendamaikan bukti yang bertentangan dalam literatur, Huntington mengusulkan sebuah konsep baru, seperti halnya negara berkembang secara ekonomi, mereka menuju ke transisi di mana berbagai instansi politik tradisional menjadi semakin sulit untuk dipertahankan. Pembangunan sendiri tidak menentukan sistem politik apa yang akan menggantikan lembaga tersebut. Alih-alih bergerak dalam arah linear menuju demokrasi gaya Barat, negara-negara di zona transisi mungkin memiliki pilihan sendiri, dan evolusi masa depan mereka tergantung pada pilihan sejarah yang dibuat oleh elit politik mereka. Singkatnya, meskipun kekayaan ekonomi adalah kondisi yang diperlukan untuk demokrasi, itu bukan satu-satunya prasyarat menuju transisi ke arah demokrasi, oleh karena itu harus mempertimbangkan faktor-faktor lain.
2.      Struktur  Sosial, yang diartikulasikan dengan kelompok-kelompok yang relatif otonom seperti bisnis, pekerjaan, agama dan etnis, akan memberikan dasar untuk pengecekan kekuasaan negara dan dasar bagi institusi politik yang demokratis. Jika tidak ada kelompok tersebut maka masyarakat akan didominasi oleh kekuasaan yang monarki. Dari semua kelompok menengah, Huntington menekankan keberadaan kelompok otonom borjuis sebagai kelompok yang paling signifikan, dimana jika tidak ada kaum borjuis maka tidak ada demokrasi.
Unsur lain kunci dalam struktur sosial yang mempromosikan demokrasi adalah keberadaan ekonomi berorientasi pasar. Semua demokrasi politik memiliki ekonomi berorientasi pasar, meskipun tidak semua ekonomi berorientasi pasar yang dipasangkan dengan sistem politik yang demokratis. Alasannya, Huntington menjelaskan bahwa ekonomi pasar memerlukan dispersi kekuatan ekonomi, Selain itu ekonomi pasar cenderung menimbulkan kekayaan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan yang menyediakan infrastruktur bagi demokrasi.
3.      Lingkungan Eksternal
Demokrasi adalah hasil dari difusi pembangunan, dimana naik turunnya demokrasi pada skala global merupakan fungsi dari kenaikan dan penurunan dari negara demokratis yang paling kuat;
4.      Konteks Budaya, Huntington meneliti dampak agama pada budaya politik, dimana ditemukan bahwa protestanisme memiliki korelasi tinggi dengan demokrasi, katolik lebih moderat terhadap pertumbuhan demokrasi, sedangkan islam, konghucu dan buddha lebih kondusif untuk pemerintahan otoriter.

Singkatnya, Huntington menyimpulkan bahwa prasyarat demokratisasi adalah kekayaan ekonomi, struktur sosial majemuk (kelompok otonom borjuis dan ekonomi berorientasi pasar), pengaruh masyarakat negara demokratis, dan budaya yang toleran terhadap keragaman.

Proses Demokratisasi
Selain berfokus pada prasyarat demokrasi, Huntington membahas proses politik melalui pembangunan demokrasi. Dia membahas tiga model demokratisasi, yaitu:
1.      Model Linear, seperti yang terjadi di Inggris dan Swedia, dimana demokrasi berkembang berawal dari tahap terwujudnya persatuan nasional, tahap perjuangan politik, tahap keputusan untuk adopsi aturan demokrasi dan tahap pembiasaan kerja sesuai aturan demokrasi
2.      Model Siklus, seperti yang terjadi di negara Amerika Latin, dimana ada intervensi militer terhadap pemerintahan terutama pada saat terjadi kekacauan ekonomi atau kerusuhan politik
3.      Model Dialektis, seperti yang terjadi di Jerman, Yunani dan Spanyol, dimana terjadi tekanan terhadap rezim otoriter oleh kelas menengah dalam hal partisipasi politik

Huntington membahas isu urutan terbaik bagi perkembangan demokrasi, yaitu:
1.      Mendefinisikan identitas nasional
2.      Mengembangkan lembaga politik yang efektif seperti sistem pemilu dan partai
3.      Memperluas partisipasi politik
Huntington menekankan bahwa demokrasi cenderung merupakan hasil dari proses evolusi bertahap dengan minimum kekerasan, bukan hasil dari revolusi”
Setelah mengamati prasyarat dan proses demokratisasi, Huntington menerapkan kriteria ini untuk mengamati prospek demokratisasi di tahun 1980-an. Dia memiliki harapan tinggi untuk demokratisasi di Amerika latin karena tradisi budaya, tingkat pembangunan ekonomi, pengalaman demokrasi sebelumnya, pluralisme sosial, dan elit rezim saat ini yang memiliki keinginan untuk meniru Eropa dan Amerika Utara.
Namun, ia tidak optimis terhadap perkembangan demokrasi di Asia Timur, Meskipun negara-negara Asia Timur telah melakukan pembangunan ekonomi dan telah mengalami pengaruh dari negara maju, namun tradisi budaya mereka, struktur sosial, dan kelemahan norma-norma demokrasi dapat menghambat pembangunan demokrasi. Huntington menunjukkan bahwa negara-negara Asia Timur menyajikan isu-isu apakah ekonomi atau budaya memiliki pengaruh lebih besar pada demokratisasi.
Sehubungan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah dan negara-negara afrika, prospek demokrasi sangat kecil, karena agama mereka, kemiskinan, atau sifat kekerasan politik mereka. Kemungkinan pembangunan demokrasi di Eropa Timur hampir tidak ada. Kehadiran Soviet merupakan hambatan utama yang menentukan, dan Huntington berpendapat bahwa tidak ada negara komunis yang menjadi demokratis melalui penyebab internal.
Sebagai kesimpulan, Huntington menunjukkan bahwa negara-negara maju dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan demokrasi di negara-negara dunia ketiga dengan cara berikut: membantu pembangunan ekonomi mereka, mengembangkan ekonomi pasar dan pertumbuhan kelompok borjuis, dan dengan membantu para elit negara yang memasuki zona transisi demokrasi.

Kekuatan Teori Modernisasi Baru
v  Teori modernisasi baru melihat lebih dekat pada apa itu tradisi, bagaimana berinteraksi dengan kekuatan barat, dan peran apa yang akan dimainkan dalam proses modernisasi.
v  Teori modernisasi baru mengungkapkan hubungan yang rumit antara tradisi dan modernisasi.
v  Teori modernisasi baru memperhatikan multi aspek (sosial, budaya, politik dan ekonomi), analisis multi linear pembangunan, dan interaksi antara faktor eksternal dan internal.