CHAPTER 4
Studi
Modernisasi Baru
TANGGAPAN TERHADAP KRITIK
Pada
akhir 1970-an, ketika kritik panas terhadap
teori modernisasi telah mereda, ada kebangkitan terhadap penelitian modernisasi. Seperti teori
modernisasi klasik, studi modernisasi baru fokus pada pengembangan Dunia
Ketiga. Penelitian baru menggunakan istilah yang mirip dengan yang ditemukan dalam
studi klasik, istilah seperti tradisi dan modernitas, dan mereka pada dasarnya
berbagi asumsi yang sama bahwa modernisasi (dan kontak dengan negara Barat) umumnya
bermanfaat bagi negara-negara Dunia Ketiga.
Hal ini
merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi
klasik antara lain sebagai berikut :
- Gerak
Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi teori
evolusi.
- Nilai
tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai penghambat
sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.
- Metode
kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang abstrak, tidak
jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud menjadikan kajian
menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam
analisanya.
- Teori
modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan
legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.
- Teori
modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur
dominasi asing dan faktor ekternal.
Ada
perbedaan yang mencolok antara kajian modernisasi
klasik dengan kajian baru teori modernisasi. Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali
dengan berbagai asumsi dasar teori modernisasi sebagai bentuk otokritik
terhadap kajian teori modernisasi klasik. Bahkan berbagai asumsi yang kurang
sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-segan dihilangkan seperti antara
lain sebagai berikut :
1) Hasil kajian
baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai
tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling bertolak
belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang disebut dengan
nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan nilai Barat
serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses modernisasi.
2) Secara
metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi
lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata.
Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih
memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.
3) Tidak lagi
memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan menjadikan barat
sebagai satu-satunya model Pembangunan.
4) Lebih
memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan
faktor konflik.
Berikut ini adalah perbandingan antara
teori modernisasi klasik dan teori modernisasi baru :
Persamaan
/ Perbedaan
|
Teori
Modernisasi Klasik
|
Teori
Modernisasi Baru
|
Fokus
kajian
|
Negara
Dunia Ketiga
|
Sama
|
Tingkat
Analisa
|
Nasional
|
Sama
|
Variabel
Pokok
|
Faktor
Internal : nilai-nilai budaya, pranata social
|
Sama
|
Konsep
Pokok
|
Tradisional
dan Modern
|
Sama
|
Implikasi
Kebijaksanaan
|
Modernisasi
memberikan manfaat positif
|
Sama
|
Tradisi
|
Sebagai
penghalang Pembangunan
|
Faktor
Positif Pembangunan
|
Metode
Kajian
|
Abstrak
dan konstruksi tipologi
|
Studi
Kasus dan Analisa sejarah
|
Arah
Pembangunan
|
Garis
lurus dan menggunakan USA sebagai model
|
Berarah
dan bermodel banyak
|
Faktor
Ekstern dan Konflik
|
Tidak
diperhatikan
|
Lebih
diperhatikan
|
WONG : FAMILIISME DAN
KEWIRASWASTAAN
Berasal dari penelitian Wong.
Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi para pakar teori
modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga)
tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek
positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :
1. Adanya
praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri
yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata pengendalian
dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain praktek manajemen
ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut pendelegasian wewenang dan
kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa pemberian atau penganugerahan penghargaan
material lebih didasarkan pada prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang
wajar Manajemen sering bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para
bawahannya.
2. Nepotisme
mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha
Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja
keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan kekeluargaan pada
umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan personalia pada perusahaan
yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak pada perusahaan kecil, anggota
utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja
murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk bekerja lebih keras tetapi dengan upah
yang lebih rendah, sehingga membantu Kuatnya posisi bersaing perusahaan
keluarga ini. Jika anggota keluarga telah memegang posisi manajerial, usahawan
etnis Cina akan dengan sangat teliti memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya,
dan melengkapinya dengan pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena
itu tenaga manajer keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.
3. Adanya
mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di
Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah menghasilkan
satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada
gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka. Kalau terjadi
perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih cenderung pada pembagian
keuntungan disbanding perpecahan fisik hubungan keluarga. Perusahaan keluarga
etnis Cina memiliki kemampuan bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan
satu kepercayaan antar anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan
yang ditemukan di antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu
sama lain. Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan
untuk saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat
terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih mudah
melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah untuk membuat
keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat berubah, mampu
menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen tertulis.
Wong tidak
memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang menghambat Pembangunan
ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional
justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut
sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar
kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses
inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong
ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1. Konsentrasi
yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang sama,
juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi.
2. Otonomi
dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3. Usaha
keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi
tidak stabil.
DAVIS : REVISI KAJIAN
AGAMA JEPANG DAN TEORI BARIKADE
Teori Lintas Gawang (A theory of hurdles)
Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas gawang, yakni teori
yang menyatakan, bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang yang
melintang sejak garis permulaan ( masyarakat tardisional ) sampai garis
terakhir ( masyarakat modern ). Dalam
lomba ini, peserta lomba ( negara berkembang ) yang berhasil mengatasi segala
rintangan hendak diberi ganjaran berupa julukan sebagai masyarakat modern dan
rasional.
Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terdiri atas brbagai macam.
Pertama, peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan rintangan ekonomis jika
hendak mencapai karakteristik dasar kapitalisme. Kedua, peserta lomba juga
diharapkan memapu mengatasi gawang rintangan sosial politik. Ketiga,
peserta lomba juga dihadapkan pada gawang rintangan psikologi.
Menurut Davis, Weber dan semua
pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan
antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai kesalahan berikut :
1)
Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi,
bahwa agama merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau
“sistem nilai pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat
untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat
memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan berkembangnya
kapitalisme.
2)
Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari proses modernisasi dan civilisasi. Davis
berpendapat bahwa jika masyarakat modern memiliki berbagai macam spirit yang
berbeda, maka dalam masyarakat tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa setiap
spiritnya perlu dan mengalami sekularisasi searah.
3)
Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk
secara berlebihan memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam
menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal
memperhatikan factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan,
ketidakloyalan, konflik). Davis menyatakan bahwa jika etos memang memiliki
peran sedemikian besar, lantas berapa besar bobot yang harus diberikan kepada
peran pemerintah, sistem perbankan, perencanaan indusri dan pranata social
lainnya. Loyalitas tidak dapat dan tidak mungkin untuk mewujudkan dalam ruang
hampa, tetapi loyalitas akan selalu tersituasikan dalam berbagai jaringan
insentif dan ganjaran social, serta dalam jaringan batasan dan kekerasan
social.
Teori
Barikade
Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan
sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis teori
lintas gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba
modernisasi yang agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang
ini dengan pasti akan dapat dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari
sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang tradisionalisme-bagaimana
masyarakat tradisional menyiapkan barikade untuk melindungi dirinya sendiri
dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh berkembangnya nilai-nilai
kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan kemajuan dan
modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul
sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan
kapitalisme itu sendiri.
Davis
melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.
o Lingkaran
terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan
berprestasi dan universalitas)
o Lingkaran
tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh masyarakat
tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara lain
termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral,
hukum, filosofi, dan agama rakyat.
o Lingkaran
luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan
hubungan kekuasaan.
Penulisan
Kembali Sejarah Agama di Jepang
Davis berpendapat, bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi adanya
perubahan karena berbagai alasan berikut ini. Pertama, menurut ajaran Budha,
agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah
pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang. Kedua, karena Shinto tidak
memiliki perwalian gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat
pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengizinkan
berlakuknya proses modernisasi. Ketiga, karena adanya kehidupan koeksistensi
tiga agama, Konfusius, Budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang
dapat ditemukan derajat toleransi antaragama sangat tinggi. Keempat, urbanisasi
di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama, yang pada
gilirannya menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan
dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan cendikiawan
Konfusianisme. Kelima, bahwa agama-agama baru yang banyak muncul setelah Perang
Dunia II, yang biasanya didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti oleh
banyak pengikut, telah mampu menumguhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru
pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, Budha, Nasrani, dan
Konfusius. Terakhir, dengan mengamati tumbuhnya kembali agama-agama rakyat,
Davis menyatakan bahwa kegaiban dan keajaiban sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip “rasionalitas” pada masyarakat industri modern.
BANUAZIZI : REVOLUSI ISLAM DI IRAN
Sama
seperti halnya Davis, Banuazizi mengkaji peran agama dalam pembangunan, Ia
berpendapat untuk memberikan penghargaan yang lebih besar terhadap tradisi
dalam masyarakat.
Kritik Banuazizi (1987)
terhadap teori modern klasik:
1. Teori
modern klasik membangkitkan sebuah image ideal masyarakat barat kontemporer;
2. Teori
modern klasik mendefinisikan tradisi sebagai sesuatu yang negatif;
3. Teori
modern klasik berargumen bahwa dunia ketiga harus menyingkirkan hambatan
tradisional sebelum terwujudnya modernisasi.
Beberapa pemikiran
Banuazizi terhadap sebuah “Tradisi”:
1. Tradisi
dapat sebagai reflektif, kreatif dan responsif terhadap kebutuhan individual
dan kolektif sebagai mitra modernisasi;
2. Tradisi
memiliki potensi besar dalam mobilisasi sosial dan perubahan;
3. Pada
1980-an terjadi kebangkitan gerakan tradisionalis dalam bentuk Islamic
Resurgence tentang penolakan nilai-nilai barat atau gaya hidup barat dan
ketaatan terhadap kode etik islam serta penegakan hukum suci.
Apa penyebab dari
revolusi Iran?
Bagaimana revolusi Iran
menarik untuk meningkatkan pemahaman kita tentang teori modernisasi baru?
Di
media barat, gerakan kebangkitan islam barat digambarkan sebagai ekstrimis,
anakronistik dan kemunduran. Gerakan ini dikhawatirkan akan menyebabkan
terjadinya eskalasi konflik etnoreligius dan disintegrasi politik.
Banuazizi berpendapat bahwa interpretasi barat tersebut menunjukan satu sisi
kegagalan mereka dalam mengendalikan faktor struktural, budaya dan agama.
Kronologi Revolusi
Islam di Iran:
1. Pada
1970-an Iran mengalami modernisasi yang luas seperti industrialisasi,
urbanisasi, perluasan pendidikan dan pertumbuhan media masa. Modernisasi ini
dibarengi dengan munculnya ketidaksetaraan struktural, sikap pemerintah yang
tunduk pada negara maju, penghinaan terhadap budaya islam, terjadinya korupsi
endemik rezim pemerintahan, sehingga menyebabkan kebencian penduduk Iran
terhadap pemerintah.
2. Modernisasi
menghasilkan dua segmen budaya:
a. Segmen
kecil modern elit barat yang berpendidikan dan mempunyai sifat individualisme,
kebebasan, dan demokrasi
b. Segmen
besar tradisional seperti kaum miskin perkotaan, pedagang kecil, dan pengrajin
yang tetap berpegang teguh pada nilai, gaya hidup dan perilaku islam
3. Kelompok
syiah memiliki peran penting sebagai elit politik kultural dalam mendorong
revolusi Iran, mereka memiliki hubungan ekonomi, sumber daya keuangan, dan
karisma religius dalam mengkritisi rezim pemerintah. Mereka bisa memainkan
peran seperti itu karena mereka telah lama aktif dalam gerakan oposisi selama
abad yang lalu. Khomeini adalah sangat populer di kalangan berbagai kelompok
oposisi, pengikut militan melakukan mobilisasi revolusioner yang terkoordinasi
dengan baik, menggunakan komunikasi secara tradisional dan modern serta agitasi
untuk mewujudkan tujuan mereka.
4. Revolusi
Iran adalah revolusi sosial berbasis massa, melibatkan koalisi kekuatan sosial
dan ideologi politik baik ideologi islam maupun sekuler. Banuazizi menjelaskan
ada 4 ideologi islam, yaitu:
- Islam Radikal, yaitu ideologi intelektual muda yang ingin mengubah Iran menjadi masyarakat tanpa kelas
- Islam Militan, yaitu ideologi ulama, kaum borjuis dan merupakan kelompok yang ingin mendirikan pemerintahan baru
- Islam Liberal, yaitu ideologi kelompok menengah yang ingin berbagi kekuasaan dengan pemerintah dengan cara non-kekerasan
- Islam Tradisional, yaitu kelompok yang menginginkan kembalinya orde lama
Banuazizi berpendapat bahwa cita-cita dan nilai-nilai
islam bisa dibuat begitu elastis dimana akan sesuai
dengan kepentingan dan
kecenderungan dari kelompok tertentu. Selain itu, para pemimpin karismatik bertindak sebagai pendukung
koalisi untuk membawa semua kelompok ini bersama-sama melakukan
mobilisasi revolusioner.
Beberapa hal yang dapat
dipelajari dari Revolusi Islam di Iran:
1. Modernisasi
tidak selalu membawa sekularisasi, dimana revolusi islam di Iran harus dilihat
dalam kaitan terjadinya kesenjangan sosial, perbedaan budaya, dan tidak
populernya rezim pemerintah dimata rakyat;
2. Aktor tradisionalis tidak terhambat oleh sifat
tradisional, ideologi tradisional ini bermanfaat dalam mengartikulasikan
tuntutan gerakan perubahan sosial kelompok sekuler modern. Hal ini berlaku
untuk Syiah Islam, Ortodoks Yudaisme di Israel, Teologi pembebasan di Amerika
latin, dan gereja katolik dalam gerakan buruh di Polandia;
3. Gerakan
tradisional keagamaan juga dapat menarik bagi mereka yang memiliki extensive
exposure kepada lembaga modernisasi (seperti kelas menengah baru). Akhirnya, sejak tahun 1979, Banuazizi telah mengamati kemenangan elemen tradisionalis
dan penghapusan virtual semua kelompok lain yang telah berpartisipasi dalam
koalisi revolusioner. Mengingat hasil pengamatan ini, Banuazizi menegaskan bahwa dialog tentang tradisi dan
modernitas harus dibuka kembali, kali ini dengan penekanan pada tradisi.
HUNTINGTON : AKANKAH NEGARA MENJADI LEBIH DEMOKRASI?
Huntington menyajikan kajian komprehensif dari berbagai
faktor penting yang berkaitan dengan pengembangan demokrasi di negara-negara
dunia ketiga. Pada tahun 1960, Lipset optimis terhadap
hipotesis bahwa pembangunan ekonomi yang lebih baik
akan menyebabkan demokrasi. Pada 1970-an, peneliti di
sekolah modernisasi menjadi lebih pesimis terhadap
prospek demokrasi di dunia ketiga . Pada 1980-an, prospek
demokrasi
tampaknya telah cerah kembali, dan hasil
penelitian cenderung menunjukan adanya kemungkinan transisi ke demokrasi.
Dalam
melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan “Akankah negara menjadi lebih
demokratis?” Huntington
membedakan dua faktor, yaitu:
1 . Prakondisi yang
mendukung pembangunan demokrasi
2 . Proses politik
dengan perkembangan demokrasi yang telah terjadi
Prasyarat Demokrasi
menurut Huntington, yaitu:
1. Faktor Kekayaan Ekonomi,
Ada korelasi yang kuat antara kekayaan dan demokrasi, dimana tingkat
kesejahteraan ekonomi yang lebih baik akan mampu menciptakan kondisi yang lebih
kondusif bagi demokrasi seperti tingginya tingkat melek huruf, pendidikan dan
paparan media massa.
Namun
Huntington memunculkan pertanyaan apakah tingkat perkembangan ekonomi
diperlukan untuk transisi menuju demokrasi, sementara berbagai negara telah
menjadi negara demokratis pada tingkat pembangunan yang sangat beragam. Di sisi
lain beberapa negara di Timur Asia dan Amerika Latin yang telah melakukan
pembangunan ekonomi tetapi belum menjadi negara demokrasi.
Dalam mencoba untuk mendamaikan bukti yang bertentangan
dalam literatur, Huntington mengusulkan sebuah konsep baru, seperti halnya
negara berkembang secara ekonomi, mereka menuju
ke transisi di mana berbagai
instansi politik tradisional menjadi semakin sulit untuk dipertahankan. Pembangunan sendiri tidak menentukan sistem politik apa
yang akan menggantikan lembaga tersebut. Alih-alih bergerak dalam arah linear
menuju demokrasi gaya Barat, negara-negara di zona transisi mungkin memiliki pilihan sendiri, dan evolusi masa depan mereka tergantung pada pilihan
sejarah yang dibuat oleh elit politik mereka. Singkatnya, meskipun kekayaan
ekonomi adalah kondisi yang diperlukan untuk demokrasi, itu bukan satu-satunya
prasyarat menuju transisi ke arah demokrasi, oleh karena itu harus mempertimbangkan faktor-faktor
lain.
2.
Struktur Sosial,
yang diartikulasikan dengan kelompok-kelompok yang relatif otonom seperti
bisnis, pekerjaan, agama dan etnis, akan memberikan dasar untuk pengecekan
kekuasaan negara dan dasar bagi institusi politik yang demokratis. Jika tidak
ada kelompok tersebut maka masyarakat akan didominasi oleh kekuasaan yang
monarki. Dari semua kelompok menengah, Huntington menekankan keberadaan
kelompok otonom borjuis sebagai kelompok yang paling signifikan, dimana jika tidak ada kaum borjuis maka tidak ada
demokrasi.
Unsur lain kunci dalam struktur sosial yang mempromosikan
demokrasi adalah keberadaan ekonomi
berorientasi pasar. Semua demokrasi politik memiliki ekonomi berorientasi
pasar, meskipun tidak semua ekonomi berorientasi pasar yang dipasangkan dengan
sistem politik yang demokratis. Alasannya, Huntington menjelaskan bahwa ekonomi
pasar memerlukan dispersi kekuatan ekonomi, Selain itu ekonomi pasar cenderung
menimbulkan kekayaan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan yang
menyediakan infrastruktur bagi demokrasi.
3.
Lingkungan
Eksternal
Demokrasi
adalah hasil dari difusi pembangunan, dimana naik turunnya demokrasi pada skala
global merupakan fungsi dari kenaikan dan penurunan dari negara demokratis yang
paling kuat;
4. Konteks Budaya,
Huntington meneliti dampak agama pada budaya politik, dimana ditemukan bahwa
protestanisme memiliki korelasi tinggi dengan demokrasi, katolik lebih moderat
terhadap pertumbuhan demokrasi, sedangkan islam, konghucu dan buddha lebih
kondusif untuk pemerintahan otoriter.
Singkatnya,
Huntington menyimpulkan bahwa prasyarat demokratisasi adalah kekayaan ekonomi,
struktur sosial majemuk (kelompok otonom borjuis dan ekonomi berorientasi
pasar), pengaruh masyarakat negara demokratis, dan budaya yang toleran terhadap
keragaman.
Proses Demokratisasi
Selain
berfokus pada prasyarat demokrasi, Huntington membahas proses politik melalui
pembangunan demokrasi. Dia membahas tiga
model demokratisasi, yaitu:
1. Model Linear,
seperti yang terjadi di Inggris dan Swedia, dimana demokrasi berkembang berawal
dari tahap terwujudnya persatuan nasional, tahap perjuangan politik, tahap
keputusan untuk adopsi aturan demokrasi dan tahap pembiasaan kerja sesuai
aturan demokrasi
2. Model Siklus,
seperti yang terjadi di negara Amerika Latin, dimana ada intervensi militer
terhadap pemerintahan terutama pada saat terjadi kekacauan ekonomi atau
kerusuhan politik
3. Model Dialektis,
seperti yang terjadi di Jerman, Yunani dan Spanyol, dimana terjadi tekanan
terhadap rezim otoriter oleh kelas menengah dalam hal partisipasi politik
Huntington membahas isu
urutan terbaik bagi perkembangan demokrasi, yaitu:
1. Mendefinisikan
identitas nasional
2. Mengembangkan
lembaga politik yang efektif seperti sistem pemilu dan partai
3. Memperluas
partisipasi politik
“Huntington
menekankan bahwa demokrasi cenderung merupakan hasil dari proses evolusi
bertahap dengan minimum kekerasan, bukan hasil dari revolusi”
Setelah mengamati prasyarat dan proses demokratisasi,
Huntington menerapkan kriteria ini untuk mengamati prospek demokratisasi di tahun 1980-an. Dia memiliki
harapan tinggi untuk demokratisasi di Amerika latin karena tradisi budaya,
tingkat pembangunan ekonomi, pengalaman demokrasi sebelumnya, pluralisme sosial, dan elit rezim
saat ini yang memiliki keinginan
untuk meniru Eropa dan Amerika Utara.
Namun, ia tidak optimis terhadap
perkembangan demokrasi di Asia
Timur, Meskipun negara-negara Asia Timur telah melakukan pembangunan ekonomi dan telah mengalami pengaruh dari
negara maju, namun tradisi budaya mereka, struktur sosial, dan kelemahan
norma-norma demokrasi dapat menghambat pembangunan demokrasi. Huntington menunjukkan
bahwa negara-negara Asia Timur menyajikan isu-isu apakah ekonomi atau budaya
memiliki pengaruh lebih besar pada demokratisasi.
Sehubungan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah dan
negara-negara afrika, prospek demokrasi sangat kecil, karena agama mereka, kemiskinan, atau sifat kekerasan
politik mereka. Kemungkinan pembangunan demokrasi di Eropa Timur hampir tidak
ada. Kehadiran Soviet merupakan hambatan utama yang menentukan, dan Huntington
berpendapat bahwa tidak ada negara komunis yang
menjadi demokratis melalui penyebab internal.
Sebagai kesimpulan, Huntington menunjukkan bahwa
negara-negara maju dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan
demokrasi di negara-negara dunia ketiga dengan cara berikut: membantu
pembangunan ekonomi mereka, mengembangkan ekonomi pasar dan pertumbuhan kelompok
borjuis, dan dengan
membantu para elit negara yang memasuki zona transisi demokrasi.
Kekuatan Teori
Modernisasi Baru
v Teori
modernisasi baru melihat lebih dekat pada apa itu tradisi, bagaimana
berinteraksi dengan kekuatan barat, dan peran apa yang akan dimainkan dalam
proses modernisasi.
v Teori
modernisasi baru mengungkapkan hubungan yang rumit antara tradisi dan
modernisasi.
v Teori
modernisasi baru memperhatikan multi aspek (sosial, budaya, politik dan
ekonomi), analisis multi linear pembangunan, dan interaksi antara faktor
eksternal dan internal.